Upacara Karo
Upacara Karo adalah upacara keagaam Agama Hindu serta bukan merupakan upacara Kebiasaan Istiadat, hal semacam ini telah dapat dibuktikan karena adanya prasasti Walandit yang mengatakan bahwa pada saat saat sebelum dan setelah kerajaan majapahit Gunung Bromo merupakan tempat yang mejadi tempat pemujaan Pada Shang Swayambu (Dewa Brahma) dan Tanah Hila-Hila (Tanah Suci) yang di huni oleh Ulun Hyang (Resi/Abdi Dewata) yang pada awal mulanya bernama " Rata Cemara Sewu ".

Masyarakat Suku Tengger di Gunung Bromo menggelar ritual tradisi Karo (kedua) setelah merayakan Hari Raya Nyepi. Perayaan tradisi Karo ini diawali dengan tarian ritual tarian sodoran, sebagai wujud rasa syukur kepada para leluhur.
Tarian Sodoran ini adalah ritual suci yang melambangkan pertemuan dua bibit manusia yakni laki-laki dan perempuan yang mengawali kehidupan di alam semeseta. Pertemuan dua manusia yakni Joko Seger dan Roro Anteng inilah yang dipercaya sebagai cikal bakal tumbuhnya masyarakat Suku Tengger.
Simbol tarian sodoran yang hanya dipertunjukkan pada Hari Raya Karo ini ditandai dengan sebuah tongkat bambu berserabut kelapa yang didalamnya terdapat biji-bijian palawija. Biji-bijian yang dipecahkan dari dalam tongkat ini dipercaya akan memberikan rejeki keturunan bagi pasangan keluarga yang belum memiliki anak.