Sejarah Wisata Banyu Biru
Tidak asyik jika hanya mengetahui tempat wisata tanpa tahu akan sejarahnya.
Pada artikel kali ini akan membahas tentang sejarah tempat wisata Banyu Biru
yang berada di Kabupaten Pasuruan. Berikut sejarah dari Banyu Biru :
Para pedagang yang datang dari
semenanjung Arab banyak menimbulkan perubahan dan peradaban baru di tanah air
kita khususnya kerajaan Majapahit pada waktu itu. Agama islam yang di bawanya
serta cepat sekali meresap dalam hati rakyat terutama rakyat kecil yang pada
mulanya selalu hidup dalam lingkungan kasta dan perbedaan sosial lainnya. Pelan
tapi pasti kerajaan Majapahit yang dulu di bangun dengan menelan korban harta
dan jiwa mulai memudar cahayanya. Selain disebabkan oleh pengaruh agama islam terdapat pula faktor lain yang
mempercepat keruntuhan yaitu terpecah belahnya persatuan diantara pemimpin oleh
seorang perwira Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaitu Raden Patah
lambat laun menampakkan kewibaannya.
Majapahit hancur berantakan, sebagian
besar rakyatnya ikut memeluk agama nenek moyangnya. Mereka banyak yang
melarikan diri kedaerah lain. Tempat
lainnya yang menjadi daerah pelariannya yaitu disebelah selatan Kabupaten Pasuruan, sekarang orang mengenalnya dengan daerah Tengger. Diantara sekian banyak pelarian dari Majapahit itu terdapat dua orang bekas prajurit Majapahit yang terdampar disebuah hutan yang sekarang lebih terkenal dengan nama desa Sumberejo, kecamatan Winongan kabupaten Pasuruan.
lainnya yang menjadi daerah pelariannya yaitu disebelah selatan Kabupaten Pasuruan, sekarang orang mengenalnya dengan daerah Tengger. Diantara sekian banyak pelarian dari Majapahit itu terdapat dua orang bekas prajurit Majapahit yang terdampar disebuah hutan yang sekarang lebih terkenal dengan nama desa Sumberejo, kecamatan Winongan kabupaten Pasuruan.
Dua orang tersebut masing-masing
bernama KEBUT dan TOMBRO. Hutan itu mereka babat untuk dijadikan daerah
pemukiman baru. Oleh kerena pada saat itu banyak sekali tumbuhan pohon pinang maka daerah baru
itu lebih terkenal dengan nama Jambaan ( Jambe = pinang, jawa ). Sampai
sekarang nama jambaan masih ada dan menjadi salah satu pendukuhan desa
Sumberejo. Dua orang bekas prajurit itu hidup dengan tenang dan untuk makannya sehari-hari
mereka mengelola tanah. Selain hidup bertani Kebut juga membuka bengkel pandai
besi. Sejak dulu dia memang terkenal sebagai empu yang mahir dalam membuat keris dan senjata
tajam lainnya, barang peninggalannya yang berupa paron masih dapat disaksikan
dan terletak disebelah makamnya yang terdapat dalam komplek pemandian Banyu
Biru. Sedangkan tombro yang hanya bertani saja tapi namanya lebih menonjol
daripada kebut.
Pada suatu hari kerbau peliharaan Tombro
dilepas dari kandangnya. Sebagaimana kebiasaan setiap hari. Kedua ekor kerbau
itu mencari makan sendiri tanpa ditemani oleh tuannya maupun gembala yang seharusnya mengawasinya.
Begitulah kebiasaannya kalau kebetulan binatang-binatang itu tidak dipekerjakan
disawah. Sore harinya pulang ke kandang yang berdiri di belakang rumah
pemiliknya. Tetapi pada hari itu ketika Tombro hendak menutup pintu kandang
ternyata tidak melihat batang hidung kerbau-kerbaunya. Bergegaslah dia
berangkat mencari ke hutan yang berada disekitar desanya. Tidak begitu sulit mencarinya sebab dia melacak
berdasarkan telapak kaki kerbaunya.
Ternyata kedua ekor kerbau itu sedang
asyik berkubang disebuah kolam kecil yang tidak pernah diketahuinya Tombro
berteriak-teriak agar hewan-hewan peliharaannya itu bangkit dan pulang ke kandang
.Rupanya kerbau itu tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya Tombro mendekat
dan Tombro agak terkejut sebab kerbau-kerbau itu ternyata telah terperangkap
dalam lumpur. Segera dipetiknya empat lembar daun keladi yang banyak tumbuh di
sekitarnya. Keempat daun itu dia hamparkan didepan kedua ekor kerbau itu.
Sekali lagi Tombro membentaknya tampak
kedua ekor kerbau itu bergerak dan ujung kakinya menggapai daun keladi lalu
tiba-tiba bangkit dan keluar dari kubangan. Hewan-hewan itu lari terbirit-birit pulang ke kandangnya.
Sepeninggal hewan-hewan peliharaannya Tombro berdiri sejenak dipinggir kolam kecil itu. Di pandangnya
kolam itu dan kini dia tidak lagi menyaksikan lumpur yang keruh tapi sebuah
kolam yang penuh dengan air yang jernih sehingga dasarnya yang berpasir itu
kelihatan nyata. Bahkan disela-sela ranting yang berada didasar kolam tampak
dua ekor ikan sengkaring sedang asyik berenang kian kemari. Menurut cerita dari
masyarakat kedua ekor ikan itu lambat laun berkembang biak hingga sekarang.
Pengunjung pemandian yang kebetulan datang dapat menyaksikan ikan-ikan itu, jumlahnya telah berlipat ganda dan
berenang kian kemari seolah-olah berlomba dengan para pengunjung pemandian yang
sedang mandi. Dari jernihnya air dasar pasir bebatuan sehingga airnya kelihatan
biru. Dengan ditemukannya kolam ajaib itu maka penduduk jambaan banyak yang datang
menyaksikannya. Sejak itu para penduduk memeliharanya dengan baik. Dan kolam
tersebut dinamakan Banyu Biru.
Kabar tentang ditemukannya kolam aneh
itu sempat didengar oleh Bupati Pasuruan yang bernama Raden Adipati
Nitiningrat. Bersama-sama seorang pembesar belanda yang bernama P.W Hopla (
sesuai dengan prasasti yang tertulis dengan huruf jawa ) kedua orang itu ikut
pula menyaksikannya. Kolam itu kemudian dibangun oleh pemerintah Belanda dengan nama Telaga Wilis. Telaga ini
dibangun terus oleh orang-orang belanda dijadikan pemandian umum. Untuk
memperindah pemandian ini
dibuat taman-taman bunga dan dilegkapi dengan berjenis-jenis patung yang
diambil dari Singosari Malang.
Selain memelihara kerbau, Tombro juga
memelihara kera. Setelah wafat pak Tombro dimakamkan didekat pemandian dan
kera-kera itu berkembang biak hingga beratus-ratus ekor. Pada waktu pendudukan
Jepang, kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya menyingkir ke hutan di dekat
desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air minumnya. Sedangkan
cerita pak Kebut tidak banyak dibicarakan orang karena dia hanya menekuni
pekerjaannya sebagai pembuat alat pertanian. Dia dimakamkan berjajar dengan
makam istrinya yang bernama mbok Kipah. Dipinggir kolam renang lama disebelah
utara tiap hari Jum’at orang-orang Tosari banyak berziarah ke makam tersebut.
Menurut cerita penduduk setempat setiap ada orang yang berusaha memindahkan
paron yang berada didekat makamnya maka keesokan harinya paron itu akan kembali
ketempat asalnya. Kira-kira pada tahun 1980 patung-patung yang banyak
bersejarah ditaman pemandian itu dikumpulkan disatu tempat dan dilindungi oleh
seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Pasuruan. Tempat itu berada didalam
kompleks pemandian yang sekarang lebih terkenal dengan nama Banyu Biru.