Desember 19, 2013

Sejarah Tretes

Tretes merupakan sebuah desa yang terletak tepat dibawah kaki pegunungan Welirang, tempat yang sejuk dan dikelilingi dengan panorama alam yang mempesona. Orang dari berbagai daerah mengenal Tretes sebagai salah satu Kawasan Wisata Kabupaten Pasuruan atau tempat rekreasi keluarga sekaligus tempat istirahat di akhir pekan. Disamping kesejukan dan keindahan alamnya, Tretes memiliki sebuah cerita yang selama ini hanya diketahui oleh beberapa sesepuh Tretes saja yaitu legenda asal mula terjadinya Tretes.
Diawali dengan berakhirnya perang Diponegoro yang berlangsung antar tahun 1825-1830 ketika itu Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan oleh kompeni Belanda/VOC dengan cara yang sangat liciklewat tipu muslihat perundingan gencatan senjata dengan syarat-syarat yang dipaksakan dan akhirnya VOC berhas melucuti pasukan Pangeran Diponegoro. Dengan cara demikian maka Kompeni Belanda kemudian menangkap pangeran Diponegoro beserta Panglimanya yaitu Kyai Mojo dan Sentot Prawiradirja. Atas adanya penangkapan- penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pasukan Diponegoro tersebut, maka banyak sisa-sisa lascar menyelamatkan diri ketempat lain, baik kearah timur maupun barat.
Berangkat dari bumi Mataram mereka berkelompok namun kemudian satu per satu mereka mendiami daerah yang dilaluinya. Daerah tersebut sepi dan tersamar, sehingga dalam menempuh perjalanan tersebut jumlah mereka semakin jauh semakin berkurang. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengelabuhi kompeni belanda sehingga tidak mengetahui bahwa mereka adalah bagian lascar Diponegoro.
Ditempat yang baru mereka menyamar sebagai petani walaupun tidak jarang diantara mereka yang membuka perguruan-perguruan agama/Kanurangan bagi rakyat disekitarnya. Mereka pada umumnya masih menginginkan dapat melawan Kompeni Belanda kembali. Diantara yang menyelamatkan diri tersebut terdapat satu kelompok yang menuju kelereng gunung welirang. Mereka terpecah sejak dari kawasan pacet sampai kawasan lawang.kelompok itu terdiri Buyut Kalia, Buyut Andan Bumi, Buyut Radiman ( Klosot ), Buyut Suradi, Buyut Cendono dan Buyut Syeh Jenar.
Walaupun hidup terpencar, mereka tetap mempertahankan tali silatur rahmi diantara mereka. Bahkan mereka sering berkumpul bersama ditempat Buyut Kalia, tempat yang aman dan sejuk. Karena pemukiman Buyut Kalia kaya akan air, pada setiap tempat terdapat tetesan air, kemudian disebutlah kawasan ini dengan nama " TRETES ". Dan kenyataannya sampai sekarang pun masih dapat kita saksikan dibeberapa tempat airnya selalu nretes ( menetes ).
Buyut Kaliah merupakan orang yang memiliki tingkat kadigdayan tinggi,memiliki tingkat batin dan akhlak yang mulia disertai pula dengan watak yang rendah hati. Selain itu, jika sosialnya juga menonjol yaitu suka dan selalu siap menolong sesama yang memang perlu dibantu. Dari sikap tersebut, mulai kawasan Tretes disinggahi oleh para pendatang. Lama kelamaan kawasan tersebut menjadi sebuah pendukuhan kecil.
Penduduk pendatang mulai hidup berdampingan bersama buyut Kaliyah dan semasa hidupnya beliau juga pernah berpesan kepada siapapun yang bermukim di tretes agar kelak mereka menjaga alam dan lingkungan serta melestarikannya, maka alam akan memberikan kebahagiaan , kesejahteraan dan kesentosaan. Selain hal itu pesan beliau yang tidak kalah penting adalah bagi siapa saja yang selalu menurut atas nasehatnya tersebut maka dalam penghidupannya walaupun tidak kaya tetapi tidak akan kekurangan .
Kehidupa di Tretes terus berkembang seiring dengan berjalannya sang waktu.Para pendatang mulai berdatangan dan terbentuklah menjadi sebuah dusun kecil. Mereka mulai bercocok tanam dan tanaman andalan masa itu adalah kopi. Kopi dari tretes sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kopi - kopi pilihan terbaik dibeli oleh pemerintah hindia belanda dengan cara kontrak ( diberi uang muka ) untuk eksport ke Netherland, sedangkan yang berkualitas rendah di jual sendiri oleh warga menuju ke pasar Pandaan atau Bangil. Karena belum adanya alat transportasi pada saat itu, maka pengangkutan ke pandaan dengan cara dipukul dan jalan kaki, demikan pula pengangkutan ke Bangil dengan TREM atau jalan kaki. Pembangunan tretes kemudian dilanjutkan oleh Canggah sobowono yaitu generasi ke empat dari Buyut kaliyah. Pada masa itu terjadilah musibah yang menimpa tanaman kopi tretes. Kopi yang biasanya berbuah lebat, menjadi rusak ( tidak berbuah ) dan buahnya rontok. Keadaan yang demikian mengundang perhatian Pemerintah Belanda, sehingga mengirimkan seorang petugas " Kontrolir " dari Belanda tersebut untuk melihat mengapa sampai terjadi demikian. Pada saat itu tuan kontrolir itu hanya mengatakan bahwa jika keadaannya demikian, maka sulit bagi Pemerintah Belanda menberi uang muka ( Kontrak ) kepada petani.
Mendengar demikian warga menjadi cemas karena kopi adalah tiang kehidupan pada saat itu. Maka akhirnya para tokoh warga dengan diprakarsai Canggah Sobowono berupaya bagaimana cara mengatasi hal tersebut. Mereka sangat prihatin karena pada saat itu tidak ada prasarana yang memadai, maka keprihatinan mereka disalurkan lewat ikhtiar memohon petunjuk dan karunia Allah SWT agar tanaman kopinya kembali memberi hasil yang melimpah. Para petani pemilik kebun, menunggu kebun-kebun kopi selama 30 hari tanpa meninggalkan gubug. Kecuali jika ada hal-hal yang mendesak. Mereka tirakat, berdoa dan memohon dengan cara-cara mereka masing-masing agar Allah SWT memberikan rakhmatnya. Karena ketekunan dengan dilandasi keyakinan yang teguh maka Allah SWT memberikan rizkinya tanaman kopi yang semula bunganya rontok menjadi berbunga dan buahnya lebat. Kemudian bupati Bangil selaku wakil pemerintahan belanda mengadakan peninjauan, lalu dijanjikan akan melaporkan ke Batavia agar uang yang sebelumnya ditahan dapat dicairkan kembali.
Beberapa waktu berselang datanglah Kontrolir dari Batavia dan mengadakan kontrak pembelian kopi-kopi petani. Warga tretes menjadi bergairah kembali karena kemakmuran sudah didepan mata. Suasana gembira tersebut dirasakan pula oleh seorang kakek yang bermukim dikawasan air terjun sabrangan yang bernama kakek Triman, yang memiliki kebun kopi dikawasan kali sabrangan dan termasuk daerah yang sangat subur. Kakek Triman merupakan orang yang baik hati dan suka menolong, dalam membantu perjuangan rakyat baliau sempat bekerja pada seorang juragan Belanda kalah itu dan menjadi informan bagi para pejuang. Karena kebaikannya Kakek Triman banyak mendapatkan berkah rizki selain dari penghasilan ladang kopinya juga pemberian dari para pengunjung air terjun. Oleh karena kakek Triman adalah orang pertama yang mendiami kawasan air terjun sabrangan juga banyak berjasa bagi masyarakat tretes sehingga untuk mengenang jasa beliau masyarakat menamakan air terjun sabrangan dengan nama panggilan beliau yaitu Kakek Bodo serta makam beliau pun ditempatkan disebelah utara air terjun.
Kembali kecerita, kakek Triman menaruh uangnya kedalam kaleng bekas ( gembreng), demikian pula dengan hamper semua warga berlaku demikian sebab pada saat itu belum menemukan cara lain dalam menyimpan uang. Dari hal ini diketahui oleh para pengunjung sehingga timbullah kesan seolah-olah orang Tretes kaya-kaya, sampai-sampai uangnya ditaruh digembreng. Dan sampailah kabar tersebut ke telinga bandol kecu, pimpinan rampok dari lereng gunung penanggungan sebelah timur yang sudah dikenal dan ditakuti. Bandol kecu lalu berniat merampok ke Tretes, maka pada suatu hari dikirimlah layang (surat) ke Tretes oleh seseorang yang memberikan bahwa suatu saat nanti bandol kecu akan datang merampok Tretes.
Canggah sabowono selaku dusun Tretes, memberikan perintah pemadaman penerangan pada saat para perampok akan datang. Malam ketika gerombolan perampok akan datang, canggah sobowono melakukan pengintaian diwatu ungga'an. Dalam suasana gelap ditambah kekuatan supranatural yang dimiliki Canggah Sobowono, akhirnya gerombolan perampok kebingungan tanpa tau arah.
Mereka berteriak-teriak, " endi dalane, endi dalane ( mana jalannya,mana jalannya )?"
Maka dijawab oleh warga ," ngidul - ngidul, terus ngidul (ke selatan terus ke selatan)".
        Para perampok mengira suara ini adalah suara rekan mereka karena para warga mengikuti dari belakang mereka. Lalu gerombolan perampok menyusuri jalan setapak sampai Putuk Cirik dan masih terus ke selatan keluar dari perbatasan Dusun Tretes bagian selatan yaitu Lawang Slorok. Mereka tidak sadar bahwa mereka semakin menjauh Dusun Tretes, sehingga sampailah mereka di Coban Glundung (ghede) dan kemudian tidak diketahui ke mana mereka pergi. Ada yang mengadakan mereka lenyap oleh ilmu Kanurangan Canggah Sobowono, ada juga yang bilang mereka terperosok menuju jurang. Esoknya, warga Tretes berkumpul bersama-sama nengungkapkan rasa syukur dan merasa senang karena terbebas dari perampok. Beberapa hari kemudian warga Tretes mengadakan selamatan sekedarnya.warga Tretes bagian utara (Lingkungan palembon)mengadakan selamatan di sekiran watu unga'andi mana gerombolan perampok pertama masuk dusun. Warga Tretes bagian ghede sebelah timur di bawah pohon bendho tempat gerombolan perampok hilang meninggalkan Tretes.
Tahun berikutnya ketika akan diadakan lagi selamatan, ternyata tempat tersebut sangat kotor karena kebetulan sedang musim buah bendho. Maka dialihkan agak ke timur disekitar Sumber Kejar yaitu dibawah pohon bulu. Keadaan disana pun sangat kotor oleh buah bulu, maka Canggah Sabowono menuding kearah barat sambil berujar," Ratakanlah tempat itu dan Tanami pohon beringin agar teduh. Dari situ pemandangannya indah, dapat melihat coban gedhe agar perasaan penduduk tentram, aman, sehat,dan sentosa." Yang ditunjuk oleh Canggah Sobowono adalah tempat sekarang ini, yaitu Dhong Ghede masyarakat menyebutnya dan dipergunakan selalu saat perayaan acara selamatan desa (sedekah desa) tanggal10 besar ( bulan jawa ) pada hari jumat pahing,dan selanjutnya menjadi ketetapan selamatan desa akan selalu dilaksanakan setiap hari jumat pahing dengan mengambil tempat yang diberi nama Pesanggrahan.
Tahun-tahun berikutnya sesudah 3 generasi dari Canggah Sobowono yaitu Mbah Dul ( Buyut dari Canggah Sobowono ) berinisiatif mengadakan acara hiburan pada acara selamatan desa agar lebih marak dan meriah mengingat tempatnya lebih luas dan bersih sekaligus untuk menyenangkan warga. Maka didatangkanlah seperangkat gamelan dan sepasang sinden / Ledek. Namun yang terjadi ialah sebelum gamelan tersebut dibunyikan, banyak yang berteriak-teriak karena kedatangan seekor ular ditempat gamelan yang kemudian ular tersebut ditangkap oleh Mbah Dul dan dilepaskan ditebing sebelah barat Pesanggrahan. Selanjutnya acara hiburan dibatalkan, semua gamelan disisihkan dan asahan diatur, kemudian selamatan pun dilaksanakan. Kemudian Mbah Dul berpesan untuk acara selamatan desa selanjutnya dan seterusnya tidak diperkenankan mengadakan keramaian.
Sejak kejadian tersebut, kesederhanaan lebih merupakan jiwa dari sedekah desa di Tretes. Bentuk asahan( nasi tumpeng, jajan pasar, buah dan hasil alam lainnya ) lebih didasarkan atas niat, keikhlasan dan kemampun. Jadi tidak mengadakan karena begitulah yang dikehendaki oleh para leluhur Tretes.
Sampai saat ini Tretes terus berkembang dan tempat-tempat sakral tersebut dan kegiatan-kegiatan adat leluhur tetap dilestarikan oleh para warga sebagai bentuk syukur dan penghormatan bagi leluhur. Tretes terletak disebelah selatan Pasuruan dengan jarak tempuh sekitar 30 KM. tretes merupakan tempat peristirahatan dan rekreasi yang menyuguhkan indahnya alam serta beberapa tempat wisata seperti air terjun Kakek Bodo, Air Terjun Putuk Truno, Pujasera Wana Wisata Pecalukan, Wisata Tanam Bunga dan Bunga Hias Ledug serta Wisata Naik Kuda. Tanpa jasa dan pengorbanan para leluhur Tretes mungkin tak kan pernah bisa menjadi seperti sekarang.
Sumber : http://www.pasuruankab.go.id

Tags

.
.