Sejarah Tretes
Tretes merupakan
sebuah desa yang terletak tepat dibawah kaki pegunungan Welirang, tempat yang
sejuk dan dikelilingi dengan panorama alam yang mempesona. Orang dari berbagai
daerah mengenal Tretes sebagai salah satu Kawasan Wisata Kabupaten Pasuruan
atau tempat rekreasi keluarga sekaligus tempat istirahat di akhir pekan.
Disamping kesejukan dan keindahan alamnya, Tretes memiliki sebuah cerita yang
selama ini hanya diketahui oleh beberapa sesepuh Tretes saja yaitu legenda asal
mula terjadinya Tretes.
Diawali dengan
berakhirnya perang Diponegoro yang berlangsung antar tahun 1825-1830 ketika itu
Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan oleh kompeni Belanda/VOC dengan cara yang
sangat liciklewat tipu muslihat perundingan gencatan senjata dengan
syarat-syarat yang dipaksakan dan akhirnya VOC berhas melucuti pasukan Pangeran
Diponegoro. Dengan cara demikian maka Kompeni Belanda kemudian menangkap
pangeran Diponegoro beserta Panglimanya yaitu Kyai Mojo dan Sentot
Prawiradirja. Atas adanya penangkapan- penangkapan terhadap orang-orang yang
terlibat dalam pasukan Diponegoro tersebut, maka banyak sisa-sisa lascar
menyelamatkan diri ketempat lain, baik kearah timur maupun barat.
Berangkat dari
bumi Mataram mereka berkelompok namun kemudian satu per satu mereka mendiami
daerah yang dilaluinya. Daerah tersebut sepi dan tersamar, sehingga dalam
menempuh perjalanan tersebut jumlah mereka semakin jauh semakin berkurang. Hal
ini dilakukan dengan maksud untuk mengelabuhi kompeni belanda sehingga tidak
mengetahui bahwa mereka adalah bagian lascar Diponegoro.
Ditempat yang
baru mereka menyamar sebagai petani walaupun tidak jarang diantara mereka yang
membuka perguruan-perguruan agama/Kanurangan bagi rakyat disekitarnya. Mereka
pada umumnya masih menginginkan dapat melawan Kompeni Belanda kembali. Diantara
yang menyelamatkan diri tersebut terdapat satu kelompok yang menuju kelereng
gunung welirang. Mereka terpecah sejak dari kawasan pacet sampai kawasan
lawang.kelompok itu terdiri Buyut Kalia, Buyut Andan Bumi, Buyut Radiman (
Klosot ), Buyut Suradi, Buyut Cendono dan Buyut Syeh Jenar.
Walaupun hidup
terpencar, mereka tetap mempertahankan tali silatur rahmi diantara mereka.
Bahkan mereka sering berkumpul bersama ditempat Buyut Kalia, tempat yang aman
dan sejuk. Karena pemukiman Buyut Kalia kaya akan air, pada setiap tempat
terdapat tetesan air, kemudian disebutlah kawasan ini dengan nama " TRETES
". Dan kenyataannya sampai sekarang pun masih dapat kita saksikan
dibeberapa tempat airnya selalu nretes ( menetes ).
Buyut Kaliah
merupakan orang yang memiliki tingkat kadigdayan tinggi,memiliki tingkat batin
dan akhlak yang mulia disertai pula dengan watak yang rendah hati. Selain itu,
jika sosialnya juga menonjol yaitu suka dan selalu siap menolong sesama yang
memang perlu dibantu. Dari sikap tersebut, mulai kawasan Tretes disinggahi oleh
para pendatang. Lama kelamaan kawasan tersebut menjadi sebuah pendukuhan kecil.
Penduduk
pendatang mulai hidup berdampingan bersama buyut Kaliyah dan semasa hidupnya
beliau juga pernah berpesan kepada siapapun yang bermukim di tretes agar kelak
mereka menjaga alam dan lingkungan serta melestarikannya, maka alam akan
memberikan kebahagiaan , kesejahteraan dan kesentosaan. Selain hal itu pesan
beliau yang tidak kalah penting adalah bagi siapa saja yang selalu menurut atas
nasehatnya tersebut maka dalam penghidupannya walaupun tidak kaya tetapi tidak
akan kekurangan .
Kehidupa di
Tretes terus berkembang seiring dengan berjalannya sang waktu.Para pendatang
mulai berdatangan dan terbentuklah menjadi sebuah dusun kecil. Mereka mulai
bercocok tanam dan tanaman andalan masa itu adalah kopi. Kopi dari tretes
sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Kopi - kopi pilihan terbaik dibeli oleh pemerintah hindia belanda dengan cara
kontrak ( diberi uang muka ) untuk eksport ke Netherland, sedangkan yang
berkualitas rendah di jual sendiri oleh warga menuju ke pasar Pandaan atau
Bangil. Karena belum adanya alat transportasi pada saat itu, maka pengangkutan
ke pandaan dengan cara dipukul dan jalan kaki, demikan pula pengangkutan ke
Bangil dengan TREM atau jalan kaki. Pembangunan tretes kemudian dilanjutkan
oleh Canggah sobowono yaitu generasi ke empat dari Buyut kaliyah. Pada masa itu
terjadilah musibah yang menimpa tanaman kopi tretes. Kopi yang biasanya berbuah
lebat, menjadi rusak ( tidak berbuah ) dan buahnya rontok. Keadaan yang
demikian mengundang perhatian Pemerintah Belanda, sehingga mengirimkan seorang
petugas " Kontrolir " dari Belanda tersebut untuk melihat mengapa
sampai terjadi demikian. Pada saat itu tuan kontrolir itu hanya mengatakan
bahwa jika keadaannya demikian, maka sulit bagi Pemerintah Belanda menberi uang
muka ( Kontrak ) kepada petani.
Mendengar
demikian warga menjadi cemas karena kopi adalah tiang kehidupan pada saat itu.
Maka akhirnya para tokoh warga dengan diprakarsai Canggah Sobowono berupaya
bagaimana cara mengatasi hal tersebut. Mereka sangat prihatin karena pada saat
itu tidak ada prasarana yang memadai, maka keprihatinan mereka disalurkan lewat
ikhtiar memohon petunjuk dan karunia Allah SWT agar tanaman kopinya kembali
memberi hasil yang melimpah. Para petani pemilik kebun, menunggu kebun-kebun
kopi selama 30 hari tanpa meninggalkan gubug. Kecuali jika ada hal-hal yang
mendesak. Mereka tirakat, berdoa dan memohon dengan cara-cara mereka
masing-masing agar Allah SWT memberikan rakhmatnya. Karena ketekunan dengan
dilandasi keyakinan yang teguh maka Allah SWT memberikan rizkinya tanaman kopi
yang semula bunganya rontok menjadi berbunga dan buahnya lebat. Kemudian bupati
Bangil selaku wakil pemerintahan belanda mengadakan peninjauan, lalu dijanjikan
akan melaporkan ke Batavia agar uang yang sebelumnya ditahan dapat dicairkan
kembali.
Beberapa waktu
berselang datanglah Kontrolir dari Batavia dan mengadakan kontrak pembelian
kopi-kopi petani. Warga tretes menjadi bergairah kembali karena kemakmuran
sudah didepan mata. Suasana gembira tersebut dirasakan pula oleh seorang kakek
yang bermukim dikawasan air terjun sabrangan yang bernama kakek Triman, yang
memiliki kebun kopi dikawasan kali sabrangan dan termasuk daerah yang sangat
subur. Kakek Triman merupakan orang yang baik hati dan suka menolong, dalam
membantu perjuangan rakyat baliau sempat bekerja pada seorang juragan Belanda
kalah itu dan menjadi informan bagi para pejuang. Karena kebaikannya Kakek
Triman banyak mendapatkan berkah rizki selain dari penghasilan ladang kopinya
juga pemberian dari para pengunjung air terjun. Oleh karena kakek Triman adalah
orang pertama yang mendiami kawasan air terjun sabrangan juga banyak berjasa bagi
masyarakat tretes sehingga untuk mengenang jasa beliau masyarakat menamakan air
terjun sabrangan dengan nama panggilan beliau yaitu Kakek Bodo serta makam
beliau pun ditempatkan disebelah utara air terjun.
Kembali
kecerita, kakek Triman menaruh uangnya kedalam kaleng bekas ( gembreng),
demikian pula dengan hamper semua warga berlaku demikian sebab pada saat itu
belum menemukan cara lain dalam menyimpan uang. Dari hal ini diketahui oleh
para pengunjung sehingga timbullah kesan seolah-olah orang Tretes kaya-kaya,
sampai-sampai uangnya ditaruh digembreng. Dan sampailah kabar tersebut ke
telinga bandol kecu, pimpinan rampok dari lereng gunung penanggungan sebelah
timur yang sudah dikenal dan ditakuti. Bandol kecu lalu berniat merampok ke
Tretes, maka pada suatu hari dikirimlah layang (surat) ke Tretes oleh seseorang
yang memberikan bahwa suatu saat nanti bandol kecu akan datang merampok Tretes.
Canggah sabowono
selaku dusun Tretes, memberikan perintah pemadaman penerangan pada saat para
perampok akan datang. Malam ketika gerombolan perampok akan datang, canggah
sobowono melakukan pengintaian diwatu ungga'an. Dalam suasana gelap ditambah
kekuatan supranatural yang dimiliki Canggah Sobowono, akhirnya gerombolan
perampok kebingungan tanpa tau arah.
Mereka berteriak-teriak, " endi dalane, endi
dalane ( mana jalannya,mana jalannya )?"
Maka dijawab oleh warga ," ngidul - ngidul,
terus ngidul (ke selatan terus ke selatan)".
Para perampok mengira suara ini
adalah suara rekan mereka karena para warga mengikuti dari belakang mereka.
Lalu gerombolan perampok menyusuri jalan setapak sampai Putuk Cirik dan masih
terus ke selatan keluar dari perbatasan Dusun Tretes bagian selatan yaitu
Lawang Slorok. Mereka tidak sadar bahwa mereka semakin menjauh Dusun Tretes,
sehingga sampailah mereka di Coban Glundung (ghede) dan kemudian tidak
diketahui ke mana mereka pergi. Ada yang mengadakan mereka lenyap oleh ilmu
Kanurangan Canggah Sobowono, ada juga yang bilang mereka terperosok menuju
jurang. Esoknya, warga Tretes berkumpul bersama-sama nengungkapkan rasa syukur
dan merasa senang karena terbebas dari perampok. Beberapa hari kemudian warga
Tretes mengadakan selamatan sekedarnya.warga Tretes bagian utara (Lingkungan
palembon)mengadakan selamatan di sekiran watu unga'andi mana gerombolan
perampok pertama masuk dusun. Warga Tretes bagian ghede sebelah timur di bawah
pohon bendho tempat gerombolan perampok hilang meninggalkan Tretes.
Tahun berikutnya
ketika akan diadakan lagi selamatan, ternyata tempat tersebut sangat kotor
karena kebetulan sedang musim buah bendho. Maka dialihkan agak ke timur
disekitar Sumber Kejar yaitu dibawah pohon bulu. Keadaan disana pun sangat
kotor oleh buah bulu, maka Canggah Sabowono menuding kearah barat sambil
berujar," Ratakanlah tempat itu dan Tanami pohon beringin agar teduh. Dari
situ pemandangannya indah, dapat melihat coban gedhe agar perasaan penduduk
tentram, aman, sehat,dan sentosa." Yang ditunjuk oleh Canggah Sobowono
adalah tempat sekarang ini, yaitu Dhong Ghede masyarakat menyebutnya dan dipergunakan
selalu saat perayaan acara selamatan desa (sedekah desa) tanggal10 besar (
bulan jawa ) pada hari jumat pahing,dan selanjutnya menjadi ketetapan selamatan
desa akan selalu dilaksanakan setiap hari jumat pahing dengan mengambil tempat
yang diberi nama Pesanggrahan.
Tahun-tahun
berikutnya sesudah 3 generasi dari Canggah Sobowono yaitu Mbah Dul ( Buyut dari
Canggah Sobowono ) berinisiatif mengadakan acara hiburan pada acara selamatan
desa agar lebih marak dan meriah mengingat tempatnya lebih luas dan bersih
sekaligus untuk menyenangkan warga. Maka didatangkanlah seperangkat gamelan dan
sepasang sinden / Ledek. Namun yang terjadi ialah sebelum gamelan tersebut
dibunyikan, banyak yang berteriak-teriak karena kedatangan seekor ular ditempat
gamelan yang kemudian ular tersebut ditangkap oleh Mbah Dul dan dilepaskan
ditebing sebelah barat Pesanggrahan. Selanjutnya acara hiburan dibatalkan,
semua gamelan disisihkan dan asahan diatur, kemudian selamatan pun
dilaksanakan. Kemudian Mbah Dul berpesan untuk acara selamatan desa selanjutnya
dan seterusnya tidak diperkenankan mengadakan keramaian.
Sejak kejadian
tersebut, kesederhanaan lebih merupakan jiwa dari sedekah desa di Tretes.
Bentuk asahan( nasi tumpeng, jajan pasar, buah dan hasil alam lainnya ) lebih
didasarkan atas niat, keikhlasan dan kemampun. Jadi tidak mengadakan karena
begitulah yang dikehendaki oleh para leluhur Tretes.
Sampai saat ini
Tretes terus berkembang dan tempat-tempat sakral tersebut dan kegiatan-kegiatan
adat leluhur tetap dilestarikan oleh para warga sebagai bentuk syukur dan
penghormatan bagi leluhur. Tretes terletak disebelah selatan Pasuruan dengan
jarak tempuh sekitar 30 KM. tretes merupakan tempat peristirahatan dan rekreasi
yang menyuguhkan indahnya alam serta beberapa tempat wisata seperti air terjun
Kakek Bodo, Air Terjun Putuk Truno, Pujasera Wana Wisata Pecalukan, Wisata
Tanam Bunga dan Bunga Hias Ledug serta Wisata Naik Kuda. Tanpa jasa dan
pengorbanan para leluhur Tretes mungkin tak kan pernah bisa menjadi seperti
sekarang.
Sumber :
http://www.pasuruankab.go.id