Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Agustus 31, 2014

HARI JADI KABUPATEN PASURUAN

Dalam rangka memasuki bulan september merupakan bulan yang sangat istimewa bagi masyarakat Kabupaten Pasuruan karena tepat tanggal 18 September 2014 Kabupaten Pasuruan berusia 1085. Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga atau Ho Ling yang diperintah oleh  seorang Raja bernama Sima. Pada Tahun 742 - 755 Masehi,  Ibu Kota Kerajaan Kalingga  dipindahkan  ke wilayah timur oleh Raja Kiyen yaitu daerah  Po-Lu-Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto. Pulokerto adalah salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton Kabupaten Pasoeroean.

Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah Kerajaan Mataram Kuno dibawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan, diantara keturunan raja Dinasti Sanjaya yang telah banyak meninggalkan beberapa prasasti baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah adalah Raja Balitung. Kemudian pada Tahun 929 seorang Raja dari keluarga lain memerintah yaitu Mpu Sindok yang telah menggeser pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan ibu kota kerajaan  Tawlang identik dengan nama Desa Tembelang di daerah Jombang. Selama memerintah Mpu Sindok telah mengeluarkan lebih dari dua puluh prasasti diantaranya Prasasti yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol yang menyebutkan Mpu Sindok memerintahkan agar rakyat Cungrang yang termasuk wilayah bawang, dibawah langsung Wahuta  Tungkal untuk menjadi sima (tanah perdikan). Substansi dalam prasasti ini dikonfersikan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan Hari Jum’at Pahing, tanggal 18 September 929 Masehi.

Dalam era jaman Majapahit dari Abad XII sampai Abad XIV  Masehi  nama Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan  tertulis dalam Kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Pasoeroean dari segi kebahasaan dapat diurai menjadi pa-soeroe-an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh.

Sesudah Kerajaan Majapahit berangsur surut berdirilah kerajaan Islam diantaranya Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Giri Kedaton, Kerajaan pajang dan Kerajaan Mataram.

Pada era  Pasoeroean dalam kekuasaan Kerajaan Giri sekitar Abad  XIV sampai XVI  salah satu peninggalan utama adalah daerah Sidogiri. Berdasarkan sejarah lisan bahwa daerah inilah awal Sunan Giri meletakkan dasar-dasar dakwah dengan membuka langgar sekaligus tempat ngaji yang kemudian dinamakan Sidogiri.

Pada masa Kerajaan Demak Abad Ke XV,   Pasoeroean memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan Adipati Pasoeroean berhasil memperluas  kekuasaannya sampai Kediri. Pasoeroean dibawah Kerajaan Pajang  tidak lama karena pada Tahun 1616 ketika Sultan Agung bertahta Kerajaan Mataram berhasil merebut wilayah Pasoeroean. Perkembangan selanjutnya Pada saat  Amangkurat I memegang kekuasaan   diangkatlah  Kyai Darmoyuda menjadi wedana Bupati Pasuruan. Wilayah Pasoeroean dibawah kekuasaan Amangkurat I banyak pergolakan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Mataram bahkan pada saat Untung Suropati berkuasa di Pasoeroean upaya itu sangat kuat sehingga mataram dibantu Kompeni  Belanda berupaya mengembalikan wilayah Pasuruan masuk kekuasaan Kerajaan Mataram.

Perkembangan selanjutnya  pada masa Kolonial Belanda berdasarkan Staatblad 1900 No 334 tanggal 1 Januari 1901dibentuklan Kabupaten Pasoeroean yang wilayahnya berbatasan dengan madura, laut hindia, sebelah barat dengan residen Kediri dan Surabaya.

Setelah melakukan kajian yang utuh dan menyeluruh terhadap fakta Sejarah Kabupaten Pasuruan, maka diperoleh lima kriteria pokok dalam penetapan hari jadi yang disepakati oleh masyarakat Kabupaten Pasoeroean yaitu :

1.   Adanya periode sejarah tertua,

2.   Bukti tertulis dan peninggalan yang tertua,

3.   Pemukiman yang tertua,

4. Struktur pemerintahan tertua dan bersifat indonesia sentris.

5.   Menunjukkan kebanggaan pada peradapan lokal,

Maka diperoleh  hari kelahiran Kabupaten Pasoeroean berdasarkan PRASASTI CUNGRANG / SUKCI  yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol maka Kabupaten Pasoeroean Lahir pada Hari Jum’at Pahing tanggal 18 September 929 M.
Dan atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diundangkan  Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Kabupaten Pasuruan yang menetapkan  tanggal 18 September sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dan diperingati setiap tahun di wilayah Kabupaten Pasuruan.


Desember 19, 2013

Sejarah Tretes

Tretes merupakan sebuah desa yang terletak tepat dibawah kaki pegunungan Welirang, tempat yang sejuk dan dikelilingi dengan panorama alam yang mempesona. Orang dari berbagai daerah mengenal Tretes sebagai salah satu Kawasan Wisata Kabupaten Pasuruan atau tempat rekreasi keluarga sekaligus tempat istirahat di akhir pekan. Disamping kesejukan dan keindahan alamnya, Tretes memiliki sebuah cerita yang selama ini hanya diketahui oleh beberapa sesepuh Tretes saja yaitu legenda asal mula terjadinya Tretes.
Diawali dengan berakhirnya perang Diponegoro yang berlangsung antar tahun 1825-1830 ketika itu Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan oleh kompeni Belanda/VOC dengan cara yang sangat liciklewat tipu muslihat perundingan gencatan senjata dengan syarat-syarat yang dipaksakan dan akhirnya VOC berhas melucuti pasukan Pangeran Diponegoro. Dengan cara demikian maka Kompeni Belanda kemudian menangkap pangeran Diponegoro beserta Panglimanya yaitu Kyai Mojo dan Sentot Prawiradirja. Atas adanya penangkapan- penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pasukan Diponegoro tersebut, maka banyak sisa-sisa lascar menyelamatkan diri ketempat lain, baik kearah timur maupun barat.
Berangkat dari bumi Mataram mereka berkelompok namun kemudian satu per satu mereka mendiami daerah yang dilaluinya. Daerah tersebut sepi dan tersamar, sehingga dalam menempuh perjalanan tersebut jumlah mereka semakin jauh semakin berkurang. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengelabuhi kompeni belanda sehingga tidak mengetahui bahwa mereka adalah bagian lascar Diponegoro.
Ditempat yang baru mereka menyamar sebagai petani walaupun tidak jarang diantara mereka yang membuka perguruan-perguruan agama/Kanurangan bagi rakyat disekitarnya. Mereka pada umumnya masih menginginkan dapat melawan Kompeni Belanda kembali. Diantara yang menyelamatkan diri tersebut terdapat satu kelompok yang menuju kelereng gunung welirang. Mereka terpecah sejak dari kawasan pacet sampai kawasan lawang.kelompok itu terdiri Buyut Kalia, Buyut Andan Bumi, Buyut Radiman ( Klosot ), Buyut Suradi, Buyut Cendono dan Buyut Syeh Jenar.
Walaupun hidup terpencar, mereka tetap mempertahankan tali silatur rahmi diantara mereka. Bahkan mereka sering berkumpul bersama ditempat Buyut Kalia, tempat yang aman dan sejuk. Karena pemukiman Buyut Kalia kaya akan air, pada setiap tempat terdapat tetesan air, kemudian disebutlah kawasan ini dengan nama " TRETES ". Dan kenyataannya sampai sekarang pun masih dapat kita saksikan dibeberapa tempat airnya selalu nretes ( menetes ).
Buyut Kaliah merupakan orang yang memiliki tingkat kadigdayan tinggi,memiliki tingkat batin dan akhlak yang mulia disertai pula dengan watak yang rendah hati. Selain itu, jika sosialnya juga menonjol yaitu suka dan selalu siap menolong sesama yang memang perlu dibantu. Dari sikap tersebut, mulai kawasan Tretes disinggahi oleh para pendatang. Lama kelamaan kawasan tersebut menjadi sebuah pendukuhan kecil.
Penduduk pendatang mulai hidup berdampingan bersama buyut Kaliyah dan semasa hidupnya beliau juga pernah berpesan kepada siapapun yang bermukim di tretes agar kelak mereka menjaga alam dan lingkungan serta melestarikannya, maka alam akan memberikan kebahagiaan , kesejahteraan dan kesentosaan. Selain hal itu pesan beliau yang tidak kalah penting adalah bagi siapa saja yang selalu menurut atas nasehatnya tersebut maka dalam penghidupannya walaupun tidak kaya tetapi tidak akan kekurangan .
Kehidupa di Tretes terus berkembang seiring dengan berjalannya sang waktu.Para pendatang mulai berdatangan dan terbentuklah menjadi sebuah dusun kecil. Mereka mulai bercocok tanam dan tanaman andalan masa itu adalah kopi. Kopi dari tretes sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda. Kopi - kopi pilihan terbaik dibeli oleh pemerintah hindia belanda dengan cara kontrak ( diberi uang muka ) untuk eksport ke Netherland, sedangkan yang berkualitas rendah di jual sendiri oleh warga menuju ke pasar Pandaan atau Bangil. Karena belum adanya alat transportasi pada saat itu, maka pengangkutan ke pandaan dengan cara dipukul dan jalan kaki, demikan pula pengangkutan ke Bangil dengan TREM atau jalan kaki. Pembangunan tretes kemudian dilanjutkan oleh Canggah sobowono yaitu generasi ke empat dari Buyut kaliyah. Pada masa itu terjadilah musibah yang menimpa tanaman kopi tretes. Kopi yang biasanya berbuah lebat, menjadi rusak ( tidak berbuah ) dan buahnya rontok. Keadaan yang demikian mengundang perhatian Pemerintah Belanda, sehingga mengirimkan seorang petugas " Kontrolir " dari Belanda tersebut untuk melihat mengapa sampai terjadi demikian. Pada saat itu tuan kontrolir itu hanya mengatakan bahwa jika keadaannya demikian, maka sulit bagi Pemerintah Belanda menberi uang muka ( Kontrak ) kepada petani.
Mendengar demikian warga menjadi cemas karena kopi adalah tiang kehidupan pada saat itu. Maka akhirnya para tokoh warga dengan diprakarsai Canggah Sobowono berupaya bagaimana cara mengatasi hal tersebut. Mereka sangat prihatin karena pada saat itu tidak ada prasarana yang memadai, maka keprihatinan mereka disalurkan lewat ikhtiar memohon petunjuk dan karunia Allah SWT agar tanaman kopinya kembali memberi hasil yang melimpah. Para petani pemilik kebun, menunggu kebun-kebun kopi selama 30 hari tanpa meninggalkan gubug. Kecuali jika ada hal-hal yang mendesak. Mereka tirakat, berdoa dan memohon dengan cara-cara mereka masing-masing agar Allah SWT memberikan rakhmatnya. Karena ketekunan dengan dilandasi keyakinan yang teguh maka Allah SWT memberikan rizkinya tanaman kopi yang semula bunganya rontok menjadi berbunga dan buahnya lebat. Kemudian bupati Bangil selaku wakil pemerintahan belanda mengadakan peninjauan, lalu dijanjikan akan melaporkan ke Batavia agar uang yang sebelumnya ditahan dapat dicairkan kembali.
Beberapa waktu berselang datanglah Kontrolir dari Batavia dan mengadakan kontrak pembelian kopi-kopi petani. Warga tretes menjadi bergairah kembali karena kemakmuran sudah didepan mata. Suasana gembira tersebut dirasakan pula oleh seorang kakek yang bermukim dikawasan air terjun sabrangan yang bernama kakek Triman, yang memiliki kebun kopi dikawasan kali sabrangan dan termasuk daerah yang sangat subur. Kakek Triman merupakan orang yang baik hati dan suka menolong, dalam membantu perjuangan rakyat baliau sempat bekerja pada seorang juragan Belanda kalah itu dan menjadi informan bagi para pejuang. Karena kebaikannya Kakek Triman banyak mendapatkan berkah rizki selain dari penghasilan ladang kopinya juga pemberian dari para pengunjung air terjun. Oleh karena kakek Triman adalah orang pertama yang mendiami kawasan air terjun sabrangan juga banyak berjasa bagi masyarakat tretes sehingga untuk mengenang jasa beliau masyarakat menamakan air terjun sabrangan dengan nama panggilan beliau yaitu Kakek Bodo serta makam beliau pun ditempatkan disebelah utara air terjun.
Kembali kecerita, kakek Triman menaruh uangnya kedalam kaleng bekas ( gembreng), demikian pula dengan hamper semua warga berlaku demikian sebab pada saat itu belum menemukan cara lain dalam menyimpan uang. Dari hal ini diketahui oleh para pengunjung sehingga timbullah kesan seolah-olah orang Tretes kaya-kaya, sampai-sampai uangnya ditaruh digembreng. Dan sampailah kabar tersebut ke telinga bandol kecu, pimpinan rampok dari lereng gunung penanggungan sebelah timur yang sudah dikenal dan ditakuti. Bandol kecu lalu berniat merampok ke Tretes, maka pada suatu hari dikirimlah layang (surat) ke Tretes oleh seseorang yang memberikan bahwa suatu saat nanti bandol kecu akan datang merampok Tretes.
Canggah sabowono selaku dusun Tretes, memberikan perintah pemadaman penerangan pada saat para perampok akan datang. Malam ketika gerombolan perampok akan datang, canggah sobowono melakukan pengintaian diwatu ungga'an. Dalam suasana gelap ditambah kekuatan supranatural yang dimiliki Canggah Sobowono, akhirnya gerombolan perampok kebingungan tanpa tau arah.
Mereka berteriak-teriak, " endi dalane, endi dalane ( mana jalannya,mana jalannya )?"
Maka dijawab oleh warga ," ngidul - ngidul, terus ngidul (ke selatan terus ke selatan)".
        Para perampok mengira suara ini adalah suara rekan mereka karena para warga mengikuti dari belakang mereka. Lalu gerombolan perampok menyusuri jalan setapak sampai Putuk Cirik dan masih terus ke selatan keluar dari perbatasan Dusun Tretes bagian selatan yaitu Lawang Slorok. Mereka tidak sadar bahwa mereka semakin menjauh Dusun Tretes, sehingga sampailah mereka di Coban Glundung (ghede) dan kemudian tidak diketahui ke mana mereka pergi. Ada yang mengadakan mereka lenyap oleh ilmu Kanurangan Canggah Sobowono, ada juga yang bilang mereka terperosok menuju jurang. Esoknya, warga Tretes berkumpul bersama-sama nengungkapkan rasa syukur dan merasa senang karena terbebas dari perampok. Beberapa hari kemudian warga Tretes mengadakan selamatan sekedarnya.warga Tretes bagian utara (Lingkungan palembon)mengadakan selamatan di sekiran watu unga'andi mana gerombolan perampok pertama masuk dusun. Warga Tretes bagian ghede sebelah timur di bawah pohon bendho tempat gerombolan perampok hilang meninggalkan Tretes.
Tahun berikutnya ketika akan diadakan lagi selamatan, ternyata tempat tersebut sangat kotor karena kebetulan sedang musim buah bendho. Maka dialihkan agak ke timur disekitar Sumber Kejar yaitu dibawah pohon bulu. Keadaan disana pun sangat kotor oleh buah bulu, maka Canggah Sabowono menuding kearah barat sambil berujar," Ratakanlah tempat itu dan Tanami pohon beringin agar teduh. Dari situ pemandangannya indah, dapat melihat coban gedhe agar perasaan penduduk tentram, aman, sehat,dan sentosa." Yang ditunjuk oleh Canggah Sobowono adalah tempat sekarang ini, yaitu Dhong Ghede masyarakat menyebutnya dan dipergunakan selalu saat perayaan acara selamatan desa (sedekah desa) tanggal10 besar ( bulan jawa ) pada hari jumat pahing,dan selanjutnya menjadi ketetapan selamatan desa akan selalu dilaksanakan setiap hari jumat pahing dengan mengambil tempat yang diberi nama Pesanggrahan.
Tahun-tahun berikutnya sesudah 3 generasi dari Canggah Sobowono yaitu Mbah Dul ( Buyut dari Canggah Sobowono ) berinisiatif mengadakan acara hiburan pada acara selamatan desa agar lebih marak dan meriah mengingat tempatnya lebih luas dan bersih sekaligus untuk menyenangkan warga. Maka didatangkanlah seperangkat gamelan dan sepasang sinden / Ledek. Namun yang terjadi ialah sebelum gamelan tersebut dibunyikan, banyak yang berteriak-teriak karena kedatangan seekor ular ditempat gamelan yang kemudian ular tersebut ditangkap oleh Mbah Dul dan dilepaskan ditebing sebelah barat Pesanggrahan. Selanjutnya acara hiburan dibatalkan, semua gamelan disisihkan dan asahan diatur, kemudian selamatan pun dilaksanakan. Kemudian Mbah Dul berpesan untuk acara selamatan desa selanjutnya dan seterusnya tidak diperkenankan mengadakan keramaian.
Sejak kejadian tersebut, kesederhanaan lebih merupakan jiwa dari sedekah desa di Tretes. Bentuk asahan( nasi tumpeng, jajan pasar, buah dan hasil alam lainnya ) lebih didasarkan atas niat, keikhlasan dan kemampun. Jadi tidak mengadakan karena begitulah yang dikehendaki oleh para leluhur Tretes.
Sampai saat ini Tretes terus berkembang dan tempat-tempat sakral tersebut dan kegiatan-kegiatan adat leluhur tetap dilestarikan oleh para warga sebagai bentuk syukur dan penghormatan bagi leluhur. Tretes terletak disebelah selatan Pasuruan dengan jarak tempuh sekitar 30 KM. tretes merupakan tempat peristirahatan dan rekreasi yang menyuguhkan indahnya alam serta beberapa tempat wisata seperti air terjun Kakek Bodo, Air Terjun Putuk Truno, Pujasera Wana Wisata Pecalukan, Wisata Tanam Bunga dan Bunga Hias Ledug serta Wisata Naik Kuda. Tanpa jasa dan pengorbanan para leluhur Tretes mungkin tak kan pernah bisa menjadi seperti sekarang.
Sumber : http://www.pasuruankab.go.id

Desember 17, 2013

Sejarah Asal Usul Pasuruan

           Dahulu kala Pada abad ke-17, lahirlah seorang anak yang bernama Untung Suropati nama aslinya Surawiroaji. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal dari Bali. Dia dilahirkan dari seorang ibu yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Nama Untung Suropati merupakan nama pemberian neneknya. Nama itu memiliki maksud agar putranya selalu beruntung selama hidupnya. Sejak Untung Suropati berumur 15 tahun, ibunya meninggal dunia dan dia menjadi anak angkat Belanda. Meskipun begitu, Untung Suropati sangat membenci Belanda, tetapi dia tidak mengungkapkan secara langsung kepada orang tua angkatnya.
            Waktu terus berjalan. Untung mulai berani melawan Belanda beserta pasukannya. Atas keberanian tersebut, Untung Suropati harus masuk penjara di Batavia (yang sekarang menjadi Jakarta). Selama Untung Suropati berada dalam penjara, kebenciannya terhadap Belanda meluap-luap. Oleh sebab itu, Untung selalu berusaha menyadarkan rakyat Indonesia yang sama-sama berada di penjara untuk bersatu melawan Belanda. Ternyata, seluruh penghuni penjara sepakat untuk mendukung keinginan Untung Suropati.
            Untung Suropati beserta kawan-kawannya yang berada di penjara setiap hari memikirkan dan mengatur strategi agar bisa keluar dari penjara. Setelah semua diatur sebaik mungkin, Untung mulai beraksi. Untung dan semua pengikutnya bersiap melarikan diri dari penjara.

      “Bagaimana keadaan di luar?” bisik Untung kepada penghuni penjara yang dekat pintu keluar.
      “Aman,” jawab salah seorang tahanan lainnya.

            Untung menggedor-gedor pintu penjara. Penghuni penjara lainnya mengikuti sehingga suasana gaduh. Dua sipir penjara bergegas membuka pintu penjara tempat Untung berada. Pada saat itulah dua sipir berhasil dilumpuhkan. Diambilnya kunci penjara yang berada di pinggang sipir. Setiap orang Belanda yang dijumpai dilumpuhkannya. Untung Suropati dan semua penghuni penjara melarikan diri ke Mataram yang letaknya cukup jauh dari penjara itu. Selama dalam perjalanan menuju ke Mataram, mereka terus memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk melawan belanda.
            Mengetahui Untung sudah melarikan diri bersama-sama penghuni penjara lainnya, Komandan pasukan Belanda sangat marah. Semua pasukan dikerahkan untuk mengejar Untung Suropati dan kawan-kawannya.
            “Tangkap Untung hidup atau mati,” perintah komandan pasukan Belanda
            Semua pasukan Belanda ditugaskan untuk mencari tahu keberadaan Untung Suropati. Untung Suropati dan kawan-kawannya merasa di Mataram bukan tempat yang cocok untuk melarika diri. Untung beserta pengikutnya terus bergerak, yang sampai akhirnya menemukan sebuah daerah yang selama ini mereka cari. Di daerah ini banyak orang yang mendukung sepak terjang Untung Suropati. Mereka mendirikan tempat persembunyian yang kokoh dan kuat sebagai tempat tinggal Untung Suropati dan kawan-kawannya. Benteng itu berpagar hutan bambu yang lebat bahkan sukar ditembus oleh manusia sekali pun. Dari situlah Untung Suropati menyusun kekuatan dan strategi melawan Belanda. Mereka mulai mengumpulkan semua peralatan perang, seperti senjata, pedang, keris, dan tombak yang dipersiapkan untuk melawan Belanda.

            Belanda terus berusaha mencari tempat persembunyian Untung Suropati. Tentara dan mata-mata Belanda disebar ke seluruh pelosok untuk mencari dan menemukan tempat persembunyian Untung. Akhirnya tercium juga tempat persembunyian Untung Suropati. Belanda mengerahkan semua pasukannya menuju ke daerah Timur untuk menggempur Untung Suropati dan kawan-kawannya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, sampailah pasukan Belanda di dekat tempat persembunyian Untung Suropati dan kawan-kawannya. Hanya saja, Belanda merasa kesulitan untuk mendekati tempat persembunyian Untung. Belanda tidak sanggup menembus hutan bambu yang lebat.
            Belanda dan pasukannya bertambah kebingungan. Setiap ditanya, tak satu pun orang yang mau menjawab tentang tempat persembunyian Untung Suropati. Mereka selalu diam kalau ditanya. Mereka lebih memilih menghindar dari pasukan Belanda. Kalaupun mereka mau membantu, itu pun karena mereka diancam hendak dibunuh. Bahkan, ibu-ibu tua pun yang tidak mengerti apa-apa harus dibunuh karena tidak mau menunjukkan persembunyian Untung.
            Belanda kehabisan akal. Sudah berbulan-bulan berada di daerah itu, tetapi sia-sia. Pimpinan pasukan Belanda memutuskan untuk menyebarkan uang logam di hutan bambu untuk menemukan Untung Suropati. Disiapkanlah berkarung-karung keping uang logam.
            Belanda mengumumkan kepada seluruh rakyat bahwa di hutan bambu itu akan disebar berkarung-karung keping uang logam. Ternyata Belanda benar-benar melakukannya. Pada hari yang telah ditentukan oleh Belanda, semua rakyat mulai berbondong-bondong menuju ke tempat yang sudah ditentukan oleh Belanda. Beribu-ribu keping uang logam ditaburkan di seluruh hutan bambu itu. Di setiap sudut mata memandang, di situ terlihat keping uang logam yang memancarkan cahaya terkena sinar mentari.
            Masyarakat belum berani mengambil uang logam itu. Mereka takut dengan pasukan Belanda yang berjaga-jaga. Hutan yang penuh dengan keping uang logam itu mulai menjadi bahan pembicaraan. Di sudut-sudut desa, di warung-warung, semua membicarakan tempat yang mirip pasar uang itu. Mereka belum tahu maksud Belanda menyebarkan beribu-ribu keping uang logam di hutan itu.
            Beberapa masyarakat mulai timbul niat untuk bisa memiliki uang logam itu. Salah seorang memberanikan diri bertanya kepada salah satu prajurit Belanda.

     “Maaf Menir, bolehkah saya mengambil uang logam itu,” tanya Pak Tua yang terlihat gemetaran.
     “Apa katamu?”kata prajurit itu berpura-pura tidak mendengar
     “Anu, Menir. Uang itu aku ambil ya?
     “Hem …, ya, silakan. Tapi, kamu babat dulu hutan bambu itu,” kata prajurit itu dengan suara lantang.

            Tanpa berpikir panjang, Pak tua mengambil sabit di rumahnya. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti langkah Pak Tua. Mereka berebut menebang hutan bambu untuk mendapatkan uang logam yang telah disebar Belanda. Mereka dengan mudah mendapatkan uang logam itu. Sampai akhirnya, tempat persembunyian Untung Suropati ditemukan pasukan Belanda. Untung beserta pasukannya tertangkap. Orang-orang yang mengambil uang logam dan membabat hutan juga ikut ditangkap.
            Tempat yang dikenal sebagai pasar uang itu akhirnya terus dikenang warga. Sejalan dengan perjalanan waktu, bekas hutan bambu tersebut selanjutnya berubah nama menjadi “Pasuruan” yang sekarang menjadi salah satu nama kota di Jawa Timur, sedangkan nama Untung Suropati menjadi nama jalan dan sebuah sekolah yang ada di Pasuruan.

Sebagai Kesatria Indonesia, beliau mempunyai harga diri dan tahu menjaga harga diri. Sebagai seorang pemimpin beliau selalu bersikap arif dan bijaksana, selalu menolong dan melindungi rakyat kecil, sehingga rakyat merasa aman dan tenteram. Pimpinan yang bertanggung jawab dan mem­punyai wibawa yang besar di kalangan anak buah dan rakyatnya.
Untung Surapati yang telah berhasil membangun kerajaannya dan ber kuasa sebagai seorang raja di Pasuruan selama _+ 20 tahun, dengan gelar Adipati Aria Wiranegara tetap konsekuwen sebagai seorang pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan Kompeni Belanda sampai titik darah peng­habisan.
Keharuman nama Untung Surapati meliputi seluruh tanah air Indonesia beliau sangat dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Indonesia terutama oleh masyarakat Jawa Timur, dan khususnya masyarakat Pasuruan.

Untung Surapati terlahir dengan nama Surawiroaji, lahir di Bali, 1660 – meninggal dunia di Bangil, Jawa Timur, 5 Desember 1706 pada umur 45/46 tahun adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan. Kisah Untung Surapati yang legendaris dan perjuangannya melawan kolonialisme VOC di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Agustus 19, 2013

Sejarah Wisata Banyu Biru


Tidak asyik jika hanya mengetahui tempat wisata tanpa tahu akan sejarahnya. Pada artikel kali ini akan membahas tentang sejarah tempat wisata Banyu Biru yang berada di Kabupaten Pasuruan. Berikut sejarah dari Banyu Biru :

Para pedagang yang datang dari semenanjung Arab banyak menimbulkan perubahan dan peradaban baru di tanah air kita khususnya kerajaan Majapahit pada waktu itu. Agama islam yang di bawanya serta cepat sekali meresap dalam hati rakyat terutama rakyat kecil yang pada mulanya selalu hidup dalam lingkungan kasta dan perbedaan sosial lainnya. Pelan tapi pasti kerajaan Majapahit yang dulu di bangun dengan menelan korban harta dan jiwa mulai memudar cahayanya. Selain disebabkan oleh pengaruh agama islam terdapat pula faktor lain yang mempercepat keruntuhan yaitu terpecah belahnya persatuan diantara pemimpin oleh seorang perwira Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaitu Raden Patah lambat laun menampakkan kewibaannya. 
Majapahit hancur berantakan, sebagian besar rakyatnya ikut memeluk agama nenek moyangnya. Mereka banyak yang melarikan diri kedaerah lain. Tempat
lainnya yang menjadi daerah pelariannya yaitu disebelah selatan Kabupaten Pasuruan, sekarang orang mengenalnya dengan daerah Tengger. Diantara sekian banyak pelarian dari Majapahit itu terdapat dua orang bekas prajurit Majapahit yang terdampar disebuah hutan yang sekarang lebih terkenal dengan nama desa Sumberejo, kecamatan Winongan kabupaten Pasuruan.


Dua orang tersebut masing-masing bernama KEBUT dan TOMBRO. Hutan itu mereka babat untuk dijadikan daerah pemukiman baru. Oleh kerena pada saat itu banyak sekali tumbuhan pohon pinang maka daerah baru itu lebih terkenal dengan nama Jambaan ( Jambe = pinang, jawa ). Sampai sekarang nama jambaan masih ada dan menjadi salah satu pendukuhan desa Sumberejo. Dua orang bekas prajurit itu hidup dengan tenang dan untuk makannya sehari-hari mereka mengelola tanah. Selain hidup bertani Kebut juga membuka bengkel pandai besi. Sejak dulu dia memang terkenal sebagai empu yang mahir dalam membuat keris dan senjata tajam lainnya, barang peninggalannya yang berupa paron masih dapat disaksikan dan terletak disebelah makamnya yang terdapat dalam komplek pemandian Banyu Biru. Sedangkan tombro yang hanya bertani saja tapi namanya lebih menonjol daripada kebut. 
Pada suatu hari kerbau peliharaan Tombro dilepas dari kandangnya. Sebagaimana kebiasaan setiap hari. Kedua ekor kerbau itu mencari makan sendiri tanpa ditemani oleh tuannya maupun gembala yang seharusnya mengawasinya. Begitulah kebiasaannya kalau kebetulan binatang-binatang itu tidak dipekerjakan disawah. Sore harinya pulang ke kandang yang berdiri di belakang rumah pemiliknya. Tetapi pada hari itu ketika Tombro hendak menutup pintu kandang ternyata tidak melihat batang hidung kerbau-kerbaunya. Bergegaslah dia berangkat mencari ke hutan yang berada disekitar desanya. Tidak begitu sulit mencarinya sebab dia melacak berdasarkan telapak kaki kerbaunya. 
Ternyata kedua ekor kerbau itu sedang asyik berkubang disebuah kolam kecil yang tidak pernah diketahuinya Tombro berteriak-teriak agar hewan-hewan peliharaannya itu bangkit dan pulang ke kandang .Rupanya kerbau itu tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya Tombro mendekat dan Tombro agak terkejut sebab kerbau-kerbau itu ternyata telah terperangkap dalam lumpur. Segera dipetiknya empat lembar daun keladi yang banyak tumbuh di sekitarnya. Keempat daun itu dia hamparkan didepan kedua ekor kerbau itu.


Sekali lagi Tombro membentaknya tampak kedua ekor kerbau itu bergerak dan ujung kakinya menggapai daun keladi lalu tiba-tiba bangkit dan keluar dari kubangan. Hewan-hewan itu lari terbirit-birit pulang ke kandangnya. Sepeninggal hewan-hewan peliharaannya Tombro berdiri sejenak dipinggir kolam kecil itu. Di pandangnya kolam itu dan kini dia tidak lagi menyaksikan lumpur yang keruh tapi sebuah kolam yang penuh dengan air yang jernih sehingga dasarnya yang berpasir itu kelihatan nyata. Bahkan disela-sela ranting yang berada didasar kolam tampak dua ekor ikan sengkaring sedang asyik berenang kian kemari. Menurut cerita dari masyarakat kedua ekor ikan itu lambat laun berkembang biak hingga sekarang. Pengunjung pemandian yang kebetulan datang dapat menyaksikan ikan-ikan itu, jumlahnya telah berlipat ganda dan berenang kian kemari seolah-olah berlomba dengan para pengunjung pemandian yang sedang mandi. Dari jernihnya air dasar pasir bebatuan sehingga airnya kelihatan biru. Dengan ditemukannya kolam ajaib itu maka penduduk jambaan banyak yang datang menyaksikannya. Sejak itu para penduduk memeliharanya dengan baik. Dan kolam tersebut dinamakan Banyu Biru. 
Kabar tentang ditemukannya kolam aneh itu sempat didengar oleh Bupati Pasuruan yang bernama Raden Adipati Nitiningrat. Bersama-sama seorang pembesar belanda yang bernama P.W Hopla ( sesuai dengan prasasti yang tertulis dengan huruf jawa ) kedua orang itu ikut pula menyaksikannya. Kolam itu kemudian  dibangun oleh pemerintah Belanda dengan nama Telaga Wilis. Telaga ini dibangun terus oleh orang-orang belanda dijadikan pemandian umum. Untuk memperindah pemandian ini dibuat taman-taman bunga dan dilegkapi dengan berjenis-jenis patung yang diambil dari Singosari Malang.
Selain memelihara kerbau, Tombro juga memelihara kera. Setelah wafat pak Tombro dimakamkan didekat pemandian dan kera-kera itu berkembang biak hingga beratus-ratus ekor. Pada waktu pendudukan Jepang, kera-kera itu habis ditembaki dan sisanya menyingkir ke hutan di dekat desa Umbulan yang terkenal dengan sumber air minumnya. Sedangkan cerita pak Kebut tidak banyak dibicarakan orang karena dia hanya menekuni pekerjaannya sebagai pembuat alat pertanian. Dia dimakamkan berjajar dengan makam istrinya yang bernama mbok Kipah. Dipinggir kolam renang lama disebelah utara tiap hari Jum’at orang-orang Tosari banyak berziarah ke makam tersebut. Menurut cerita penduduk setempat setiap ada orang yang berusaha memindahkan paron yang berada didekat makamnya maka keesokan harinya paron itu akan kembali ketempat asalnya. Kira-kira pada tahun 1980 patung-patung yang banyak bersejarah ditaman pemandian itu dikumpulkan disatu tempat dan dilindungi oleh seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan. Tempat itu berada didalam kompleks pemandian yang sekarang lebih terkenal dengan nama Banyu Biru.

Cak Sakera


Jika anda mengenal berbagai macam nama pahlawan asal Indonesia belum tentu anda mengenal nama pahlawan ini. Artikel ini akan menambah wawasan pengetahuan anda tentang sejarah pahlawan asal Pasuruan ini. Sakera namanya. Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera merupakan seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura. Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).
http://202.67.224.135/pfimage/37/693437_sakerah.jpg
Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan. Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.
Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. Selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.

Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil, Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.
Sakera gugur digantung di Tengah Alun-alun Bangil, bagian tubuhnya dipencar-pencar dan salah satu makamnya berada di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).
.
.